Tekanan ekonomi dan peningkatan penduduk alih fungsi lahan selalu terjadi. Setiap tahun luas lahan rawa kota Palembang terus mengalami penurunan, akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan, pergudangan dan industry. Pada tahun 2010 diperkirakan luas lahan rawa di kota Palembang tinggal 7.300 ha (Koran Tempo, 2010). Saat ini diperkirakan lahan rawa yang tersisa di Kota Palembang tinggal hanya 20% saja. Dan itupun terdistribusi pada daerah dimana nilai ekonomis wilayah tidak terlalu potensial. Lahan rawa yang terletak di areal strategis telah berubah fungsi menjadi perumahan, pertekoan, perkantoran dan pergudangan. Selain itu haraga rawa sangat tinggi (kepentingan ekonomis, sehingga anggaran pembebasan lahan menjadi kendala. Kodisi ini jelas menimbulkan masalah baru, karena kawasan tampung hujan menjadi kecil dan terbukti awal musim hujan saja Palembang sudah kebanjiran.
Rawa itu ibarat kolam penampungan. Volume air dari hujan sebetulnya tidak mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun. Hanya saja karena kawasan tampug (rawa) semakin berkurang maka air hujan tidak tertampung dan ahirnya keluar menjadi aliran permukaan menuju daerah yang rendah dan menuju saluran dan sungai. Pada kondisi sungai dan salurn sudah penuh oleh air maka aliran menjadi terhenti dan jadilah banjir di Kota Palembang, di tambah karena sungai Musi sudah dangkal dan mendapat pengarruh air pasang dari selat Bangka. Fenomena inilah yang membuat ketergenangan kota.
Area di Kota Palembang yang sering mengalami genangan yaitu di kawasan DAS Lambidaro, Boang, Sekanak, Bendung, Buah, Juaro, Batang, Sriguna, Aur dan Kertapati. Hasil analisis hidrologi menunjukkan bila intensitas hujan mencapai angka 100 mm/jam menyebabkan terjadi genangan seluas 0,5 sampai 1 ha yang terjadi pada 44 lokasi di sepuluh DAS tersebut; Sejauh ini kapasitas system jaringan drainase jauh dari memadai, sebagai contoh simulasi hidroulika untuk kapasitas drainase pada DAS Lambidaro, dimana kapasitas saluran drainase hanya 13,89 m3/dtk sedangkan debit banjir 187,303 m3/dtk. Faktor ketiga adalah pola pasang surut sungai musi. Tinggi pasang Sungai Musi berkisar antara 0,7 – 2,2 m, sehingga terjadi aliran balik menuju hulu sungai kecil sejauh 1100 m – 3500 m; Kondisi ini menyebabkan pada saat terjadi hujan puncak sungai Musi tidak mungkin digunakan sebagai drainase utama, karena mengalami kenaikan muka air. Faktor lain adalah tekanan penduduk kota. Sejauh ini peningkatan jumlah penduduk sebesar lebih kurang 15-20% mengakibatkan peningkatan luas area terbangun diperkirakan 30-40%, jelas ada pengaruh terhadap lahan rawa yang ada; selain itu cepatnya laju sedimentasi, yaitu proses pendangkalan sungai dan saluran akibat dari 30-40% masyarakat yang tinggal di pinggir sungai membuang sampah ke sungai.
Untuk upaya pengendalian alihfungsi rawa pemerintah Kota Palembang telah mengeluarkan peraturan khusus tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa yaitu Perda No 13 Tahun 2002 yang mulai dijalankan pada tahun 2003. Peraturan tersebut membatasi penimbunan di daerah rawa. Perda Rawa ini memiliki semangat positif yaitu untuk mengkonservasi rawa-rawa yang dipersiapkan sebagai daerah resapan air. Perda ini bertujuan untuk mencapai terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dilakukan dengan penyiapan sarana dan prasarana yang diperuntukan bagi keperluan peruntukan penggunaan tanah permukiman, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, industri, perhubungan dan pariwisata. Namun dekimiak dalam implementasinya belum bisa dilaksanakan secara optimal. Petunjuk teknis di lapangan belum disosialisasikan ke masyarakat. Keharusan mempertahankan 20% lahan rawa bagi para pengembang atau pemilik rawa sejauh ini belum bisa dilaksanakan. Sering kali ditemui dilapangan lahan rawa yang sudah dipagar akan dibangun perumahan atau pergudangan semua area ditimbun tanah.
Oleh karena itu Kota Palembang merupakan lingkungan binaan yang selalu tumbuh dan akan berkembang sehingga membutuhkan suatu kebijakan nyata terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruangnya. Saat ini, persoalan tata ruang seringkali muncul menjadi permasalahan rumit karena dianggap mempunyai peran sentral terhadap terjadinya berbagai kerusakan ekosistem dan lingkungan di kawasan perkotaan. Khususnya Palembang yang secara original adalah kota rawa. Pemaksaan model pembangunan fisik menjadi daratan, dengan meninggalkan model bangunan panggung tradisioanal telah menimbulkan masalah lingkungan dengan hilangnya kapasitas lahan dalam menyimpan air. Untuk pemerintah bisa memberikan contoh pembelajaran dimana bangunan sarana publik, perkantoran dibuat dengan model tidak menimbun rawa.
Pengendalian banjir kota akan semakin rumit dan komplek.. penggunaan pompa air akan mahal dan tidak efektif, karena drainase utama adalah sungai Musi mengalami pengeruh pasang dan akan semakin parah karena mendapat kiriman air dari bagian hulu. Daerah tangkapan di hulu musi juga sudah rusak sehingga debit air dari hulu pada musim hujan makin besar. Pengendalian yang mungkin hanya dengan membuat kolam retensi, dan system drainase yang saling terhubung (jarring laba-laba). Terkait kolam retensi kita memerlukan setidaknya 100 kolam. Kolam dibuat dengan lokasi berdasarkan partisipatif warga yang sering mengalami kebanjiran, dan sudah saat nya pemerintah kota membuat rencana pembuatan kolam di masing-masing kelurahan yang rawan banjir. Inventarisasi meliput kelas rawa, luas areal, harga jual, kepemilikan rawa yang akan di bebaskan.
Berkaitan makin rumitnya permasalahan pembebasan lahan rawa maka dirasa perlu untuk membuat gerakan wakaf rawa. Bila ada arwa yang akan dibebaskan, bias sajadisosialisasikan dengan warga, untuk semua kompoen bahu membahu membantu pemerintah membebaskan lahan tersebut. Kontribusi warga akan menjadi amal jariah, karena telah menyelamtkan lingkungan.
Kebijakan teknis yang masih dirasa belum jalan adalah gerakan pembuatan sejuta sumur resapan, diharapkan perumaha yang berada berasal dari daerah rawa harus membuat sumur, begitu juga perkantoran, gudang dan ruko. Pemerintah harus memberi contoh untuk di area kantor, masjid, pelayanan publik dan pasar. Selain itu diperlukan pembangunan drainase utama yang berfungsi sebagai long storage, ini di buat di jalan protocol, seperti di Jalan Sukarno Hata dari mulai Musi 2 sampai bandara, sudah saat nya dibangun saluran setingkat saluran sekunder di lahan irigasi. Kondisi harus segara karena terlambat akan menyebabkan sulit dalam pembebasan lahan, akibat area sudah tertimbun atau ditimbun untuk bangunan liar di sepanjang kiri-kanan jalan.
Untuk kebijakan non teknis diperlukan pembentukan kelempok masyarakat penjaga saluran drainase. Mereka akan rutin membersihkan saluran terutama menjelang musim hujan. Untuk dana operasional kelompok ini bisa memungut iuran lingkungan di tingkat RT yang di ketahui pemerintah setempat. Dengan konsep ini diharapkan system jaringan mikro (ditingkat kelurahan) dalam kondisi bersih dan berfungsi baik untuk pembuangan air berlebih dan biaya operasional di lakukan masyakat melalui pola partisipatif.
Leave A Comment